Tiga puluh tahun lalu, saat kecil aku tinggal di kampung, di mana kamar mandi dan WC tidak perlu dimiliki secara pribadi. Seperti yang lain, pagi dan petang keluargaku antre ke sumur dan WC umum. Di sarana WC umum itu tersedia enam bilik.
Aku ingat, setiap hari pemandangannya sama di sumur dan WC umum itu.
Ketika hari belum pecah dan gelap masih tersisa, para ibu dan remaja putri melakoni shift pertama. Mereka mandi dan mengambil air, sebelum anggota keluarganya beraktivitas.Mereka juga bergegas buang hajat di WC umum, sebelum para bapak dan remaja putra bangun.
Ibu-ibu yang punya bayi maupun cucian, melunasinya selang satu shift kemudian. Sebab sebelum shift untuk bayi dan cucian, giliran kaum bapak dan remaja putra mandi dan buang hajat.
Aku ingat, selalu ada antrean saat jam-jam sibuk. Di WC umum, pada tiap pintu pengantre siaga di sana. Sisanya bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil tak jauh dari pintu. Banyak tetangga fanatik terhadap bilik tertentu. Entah atas pertimbangan kebersihan atau kenyamanan. Di sumur, dekat timba yang tengah digunakan, ember-ember dikawal pemiliknya. Sedang di kamar mandi, satu atau dua pengantre berdiri di pintu. Sisanya ngobrol agak jauh dari situ.
Kuingat, obrolan mereka nyaris sama dengan obrolan di Facebook yang marak belakangan. Temanya jumpalitan, nyelonong, keluar masuk begitu saja. Tanggapan kerap tak terduga; kadang sepi kadang berjejal, sejalan kebutuhan. Ada yang serius, ada yang gocekan dan mengubah apapun jadi ledekan. Ada yang seolah serius namun buntutnya strategi merebut fokus, lalu melempar tema baru seenaknya. Itulah kenapa obrolan tetanggaku berumur sesaat dan lebih bersifat ke mana angin kepentingan dan dominasi pembicaraan melenggang.
Secara waktu obrolan tetanggaku di sumur dan WC umum tergiring mapan, pagi dan petang secara bergantian. Jika wigati dan butuh privasi, mereka akan mojok menjauh dari kelompok dan rasan-rasan. Atau mengisolasi; glenikan di luar waktu mapan.
Pengguna Facebook pun punya kemapanan, sejalan sistem waktu manusia modern. Pagi sebelum/hingga awal jam kerja, ada yang Facebook-kan bareng dengan dimulainya jam kerja dan sore selepas kerja. Ingin intens? Keluar dari kedua waktu itu. Jika makan siang tidak berselera, Facebook jadi menu pengganti. Ingin leluasa? Facebook-kan bisa dilakukan saat malam seusai istirahat atau menjelang tidur. Ingin lebih serius tinggal hengkang. Nyaris tak beda dengan obrolan tetanggaku dari sisi ruang, waktu dan kepentingan.
Sama-sama bersumber pada kegelisahan keseharian, tetanggaku merujuk seputar kehidupan kampung. Bermula dari soal pribadi, kerja, keluarga sehubungan situasi kampung sehari-hari. Kerap ujungnya bermuara pada keluh kesah ekonomi. Bedanya, di Facebook hal-hal itu dieksplorasi lebih rumit dan dalam, ujungnya kerap kegetiran dan kesepian. Di tengah-tengah samudra wacana nasional bahkan internasional.
Jika tema obrolan di kampungku “berjenis kelamin” sesuai dengan shift, maka Facebook merontokannya. Tak ada batasan tema menurut jenis kelamin, profesi, usia bahkan kedalaman wacana pengguna. Tak perlu risi atau malu lantaran tak ada ekspresi wujud yang merujuk orang ketinggalan obrolan atau tak menguasai tema (saat ia tak menulis tanggapan). Sebab, peristiwa komunikasi diwakili huruf, simbol dan ejaan yang tak seleluasa wajah, tubuh dan gerak-gerik dalam mengirimkan sinyal kejujuran dan makna sebenarnya dari bahasa yang diucapkan.
Kompleksitas perbincangan Facebook lebih tak terpenjara oleh ruang dan waktu ketimbang obrolan tetanggaku di sumur dan WC umum. Namun, tingkat penyimpangan makna bahasa (tulis) bisa berubah rupa keterbatasan. Di samping (bagi sebagian pengguna) Facebook mudah diolah menjadi keleluasaan tanpa batas. Siapa yang tahu; apakah seseorang tengah menulis pikirannya linear atau paradoks dengan situasi kejiwaannya saat itu?

by Sosiawan Leak======>>>>SOLOPOS Edisi : Minggu, 09 Agustus 2009 , Hal.VIII

0 Comments:

Posting Komentar

Maaf semua komentar kami moderasi. Budayakan komentar yang santun demi kenyamanan semua pembaca yang berkunjung ke blog ini. Salam Blogger ;-)