Usiaku menginjak tujuh belas tahun. Genap setahun sudah bapak pergi meninggalkan aku dan ibuku untuk selama-lamanya. Kecelakaan itu telah merampas bapak dari hidupku, merampas semua cita-citaku. Sebuah bus dengan kecepatan tinggi menabrak motor tua yang dikendarai Bapak sewaktu pulang dari tempat kerja. Bapak sempat di rumah sakit satu hari sebelum akhirnya menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Bapak yang menjadi tumpuan keluargaku kini tak kan pernah hadir lagi dalam kehidupanku.
Aku masih bisa bersyukur, meski Bapak telah tiada tetapi masih memiliki seorang Ibu yang sangat tegar. Ibu yang tak pernah sekalipun mengeluh dengan keadaan ini. Bukan karena keadaan ini pula ibu menjadi sosok yang tegar. Bahkan, sejak bapak masih ada tak pernah aku mendengar ibuku menuntut bapak dengan kemiskinan ini. Ibuku selalu menyambut dengan senyum setiap bapak pulang dari tempat kerja. Tak pernah lupa menyiapkan teh hangat untuk Bapak. Meskipun hidup serba pas-pasan bahkan bisa dibilang selalu kekurangan, tetapi tiada henti-hentinya beliau mengajariku bersyukur padaNya.

Aku semakin takut bercita-cita. Semua yang dulu bapak pernah katakan kini selalu membayangiku. “Kamu adalah calon pemimpin , Nak! Dan ingatlah bahwa semua pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Kejarlah cita-citamu, selama itu untuk kebaikan, Insya Allah akan bernilai ibadah!” Masih teringat jelas bagaimana Bapak menasehatiku. “Bapak akan berusaha sekuat tenaga agar kamu bisa kuliah.” Masih belum hilang ingatanku Bapak mengatakan hal itu.

Tapi kini? Siapa yang akan membiayaiku kuliah? Bahkan untuk lulus SMA inipun aku masih ragu. Untuk bisa makan sehari-hari saja sulit. Aku berjualan koran setiap pulang dari sekolah untuk membatu ibu agar kami bisa menyambung hidup. Ibuku melarang berkali-kali. Aku disuruh konsentrasi dengan sekolah. “Biar Ibu yang memikirkan biaya sekolahmu.” Kata Ibuku suatu ketika. “Apalagi sekarang kamu sudah kelas tiga.” Bagaimana bisa ibuku membiayai sekolahku? Sementara hanya menjadi tukang cuci di rumah Pak Haji. Dan hasilnya masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Makanlah Ton, Ibu sudah siapkan makan malam untukmu.” Ibu membuyarkan lamunanku. ”Iya bu.” Jawabku singkat. Aku segera beranjak untuk mengambil makan malam. Rumah yang hanya terbagi dua sekat ruangan ini terasa semakin sempit dan sesak. Ruang tamu, dapur dan tempat tidurku nyaris menjadi satu. Di satu sekat yang lain menjadi kamar ibuku. Sehabis makan aku masih belum berhenti memikirkan masa depanku. Entah bagaimana caranya aku harus bisa kuliah.

”Bangun Ton, kita sholat malam berjamaah.” Ibuku mengguncang tubuhku, membangunkanku.” Ibuku selalu membangunkan aku saat sepertiga malam yang terakhir. Ibu seperti tak pernah lelah dengan kebiasaan ini. Hampir setiap malam sholat tahajjud, dzikir dan berdo’a sampai shubuh. Pernah ibuku ketiduran sambil memegang mushaf, mungkin karena kecapekan karena siang hari sebelumnya cucian di rumah Pak Haji sangat banyak.
***
Hari perang pun tiba. Hari ini ujian nasional. Aku seperti tiada henti mendapat cobaan. Ibuku jatuh sakit. Mungkin karena kelelahan. Atau mungkin ibu benar-benar kehabisan tenaga. Aku ingat kemarin aku hanya makan nasi setengah piring dengan lauk sepotong tempe goreng. Itupun sisa laukku kemarin lusa. Dan ibu tidak makan sama sekali. ”Makanlah nak, Ibu sudah makan tadi.” Aku ingat kata-kata ibuku. Padahal aku tahu beliau belum makan sama sekali, karena memang tak ada makanan lagi. Begitu besar rasa sayangnya, hingga berbohong padaku. Dan hari ini, benar-benar aku merasa berdosa. Dengan linangan air mata aku berangkat untuk menempuh ujian. Aku hanya bisa berdo’a semoga ibu cepat sembuh. Selesai ujian nanti aku akan ngamen, tekadku dalam hati. Toh aku bisa belajar nanti malam.
***
Kerja kerasku membuahkan hasil, aku lulus dengan nilai sangat memuaskan. Tidak hanya itu, aku bahkan lolos masuk PTN tanpa tes, juga lolos kuliah tanpa biaya hingga lulus. Ya, aku mendapatkan beasiswa. Aku benar-benar tidak pernah bermimpi sebelumnya. Sejak pengumuman hingga menjelang kepergianku, Ibuku tak pernah berhenti menangis. Ibuku semakin lama berdo’a dalam sholat malamnya. Aku baru sadar, keberhasilanku bukan semata usahaku. Tetapi kuatnya do’a ibu. Ibuku tak pernah bosan memohon padanNya agar aku bisa menggapai cita-citaku. Dan kini terjawab sudah do’a-do’a ibuku.

”Aku sekarang justru takut Ton.” Kata ibu.
”Takut kenapa bu? Bukankah sekarang telah terlihat setitik cahaya untuk kehidupan kita?” Aku ganti bertanya.
”Aku takut engkau lupa sama Allah jika telah berhasil mengejar cita-citamu” Ibuku cemas.
”Tenanglah ibu, aku akan jaga amanah ibu. Aku akan sering pulang jika libur.” Aku berusaha menghibur.
”Jangan lupa jaga sholatmu Nak. Ingat kata-kata Bapak, jangan menunda sholat. Dan sholat yang paling utama adalah berjamaah.”
”Iya bu, akan Toni ingat semua itu.” Kembali terkenang bayangan wajah bapak. Beliau selalu mengajak aku dan ibuku berjamaah jika waktu sholat telah tiba. Dan setelah bapak tak ada, aku menggantikan posisi bapak sebagai imam sholat ibuku.
”Ibu pasti akan sangat merindukanmu Ton. Merindukan sholat malam berjamaah. Merindukan kamu mengambilkan air wudhu untuk ibu. Jaga dirimu baik-baik anakku.” Tangis ibu semakin menjadi-jadi.
”Pasti bu.” Aku tak kuasa ikut menitikkan air mata.

Hingga sehari sebelum kebarangkatanku ke Jakarta, aku sayup-sayup mendengarkan ibuku menangis dan berdo’a setelah sholat malamnya. Aku tak tahu kenapa ibu tak membangunkanku. Dan beliau sholat malam sendiri. Aku berusaha sedapat mungkin bisa mendengarkan.
Ya Allah, aku tak tahu ini ganjaran atau cobaan iman kami. Tiap malam aku berdo’a untuk anakku. Aku tahu cita-citanya begitu mulia. Ingin membahagiakan aku, agar kami bisa hidup lebih baik. Tapi kini, aku kembali mohon kepadamu ya Rab, jagalah anakku. Jagalah iman dan islamnya. Kuatkan pondasi dien nya. Jadikan semua ini hanyalah awal untuk menggapai kebahagiaan yang kekal.

Ya Tuhan semesta alam, yang tak pernah tidur dan tak pernah lupa. Ingatkan anakku, jika dia lupa padamu. Tunjukkan jalan yang seharusnya dia lalui, jika dia salah menapaki jalan kehidupan ini. Bimbinglah dia dengan belaian cintaMu. Karena aku tahu Engkau mengasihi semua hambamu.

Ya Allah yang Maha segalanya. Rasanya tak pantas aku selalu memohon padamu. Tapi kepada siapa aku harus memohon selain kepada engkau? Lindungi anakku, hingga dia benar-benar menjadi pemimpin yang menegakkan agamamu. Aku memohon padamu ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.
Aku kembali berurai air mata mendengar do’a-do’a ibu. Dan dua hari setelah itu aku memulai kehidupan baru di Jakarta. Ibu melepasku dengan air mata. Dengan tangis yang tak pernah aku gambarkan seperti apa kesedihannya.
***
Telepon berdering. ”Halo, Tony Wicaksono disini.”
“Iya pak, saya Suryo.” Terdengar suara di seberang sana.
“Oh kamu. Ada apa? Waktuku tidak banyak.” Aku pura-pura cuek.
“Tentang sengketa tanah itu pak. Bapak bisa bantu kan?” Tenang saja Bapak dapat 1 milyar untuk ini.”
“Bisa diatur.” Aku masih dengan nada sinisku.
”Baiklah pak besok kita ketemu saja.” Jam sepuluh ya?”
”Oke.” Aku akhiri percakapanku.
***
Kini hidupku telah berubah. Semua telah aku punyai, rumah mewah, mobil. Aset tanah dimana-mana. Ibuku telah aku belikan rumah yang begitu besar. Lengkap dengan perabotnya. Tidak lupa aku carikan dua orang pembantu. Uang memang mengalir begitu mudah. Tinggal aku bilang angka, semua pasti dituruti. Kalau tidak, aku jerat dengan keputusan yang seberat-beratnya. Siapa yang berhak mengadili orang kecuali hakim? Tak ada.

Dewi fortuna memang berpihak padaku. Setelah selesai kuliah waktu itu aku langsung mendapat kursi jabatan. Memang rendahan awalnya. Tetapi begitu aku tahu “jalan” nya tak sulit bagiku mendapat kursi yang tinggi dan empuk. Ibuku pernah bertanya bagaimana aku bisa kaya secepat ini. Tetapi dengan sedikit alasan, dan kepandaianku mengolah kata dia tak bertanya macam-macam lagi. Aku bilang aku ini mempunyai bisnis sampingan selain kerja di Pengadilan. Dan sepertinya ibuku percaya dengan hal itu.

Aku memang jarang pulang ke kampung. Buat apa? Toh ibu sudah aku beri segalanya. Pembantu pun telah siap 24 jam, tinggal teriak pasti apa yang dimau datang. Selain itu aku juga sibuk dengan urusanku yang begitu menyita waktu. Aku pikir ibu pasti memaklumi hal ini.
***
Ibuku meninggal dunia? Bagaimana bisa? Ada yang aneh. Aku segera pesan tiket pesawat untuk pulang ke kampung hari ini juga. Sesampai di rumah tak ada tetangga yang datang. Hanya beberapa orang yang memang telah aku bayar untuk mengurusi jasad ibuku. Pemakaman hari itu juga.

Sehabis pamakaman aku bertanya kepada pembantu yang selama ini bekerja menjaga ibuku. Tak ada yang tahu penyebab kematian ibu.
Aku ke kamar ibu. Membuka lemari dan laci-lacinya. Ada selembar kertas hasil diagnosa dari dokter. Tertulis disitu ibuku mengidap Leukimia. Aku heran. Kenapa ibu tak pernah cerita tentang hal ini? Juga terhadap pembantunya.
Aku masih membuka semua isi lemari ibu. Aku menemukan tumpukan kertas penuh tulisan yang lebih mirip cakar ayam.. Aku mulai membacanya. Lembar demi lembar.

Ya Allah aku benar-benar bersyukur padamu. Cita-cita anakku telah terkabul. Sekarang semua orang kenal dengan Toni Wicaksono. Setiap hari muncul di TV dengan bahasa khasnya. Mengungkap dan memutuskan kasus demi kasus dengan gemilang. Prestasinya memang pantas dibanggakan.
***
Tetapi ya Allah, kenapa sekarang jarang sekali pulang? Aku maklum pasti dia banyak urusan. Dan semua itu resiko atas pekerjaannya.
Ya Allah, rinduku benar-benar tak tertahankan terhadap anakku. Lindungi dia ya Allah. Jaga dia dari segala godaan dunia. Tunjukkan segala jalan yang lurus ya Rab.
***
Hari ini ada kepalaku terasa pusing. Perut juga terasa sakit. Ah mungkin Cuma masuk angin. Sebentar lagi juga sembuh. Aku masih kangen sama anakku Ya Allah.
***
Dua orang tak dikenal datang kerumah hari ini. Mereka bilang ingin minta tolong terhadap anakku. Aku tak tahu maksudnya. Dia memberikan amplop. Untuk hadiah buatku katanya, sebagai ibunya Toni. Setelah mereka pergi aku buka, isinya cek 1 milyar. Ya Allah, apa artinya ini? Apakah anakku memang sekotor ini sekarang?
***
Sakitku semakin menjadi. Aku memutuskan periksa ke Dokter. Ditemani pembantuku. Aku menjalani pemeriksaan di ruang serba putih, aku tak tahu namanya. Beberapa hari kemudian aku mendapat vonis Leukimia.
Aku benar-benar putus asa. Aku tak ingin menghubungi anakku lagi. Aku merasa dia bukan anakku lagi sekarang. Dia telah menyimpang dan menodai do’a-do’a ku. Menodai agamanya sendiri.
Aku memohon padamu Ya Allah, segera ambil nyawaku ini. Tak ada yang pantas aku banggakan. Anakku telah berubah. Seandainya dia tahu, bukan harta seperti ini yang aku minta. Aku merindukan sholat malam berjamaah. Merindukan bagaimana dia mengambilkan air wudhu untukku. Tapi semua itu telah hilang.
Ya Allah, sesungguhnya hidup miskin lebih aku sukai jika itu bisa mendekatkan diri ini padaMu ya Allah. Daripada hidup kaya tetapi jauh dari kasih sayangmu. Jika aku masih boleh memohon ya Allah. Tunjukkan hukuman untuk anakku agar dia bisa kembali ke jalanMu ya Rab.
***
Sampai disini aku berhenti membaca. Tiba-tiba lidahku kelu. Tubuhku mengejang. Semua organ tubuhku tak bisa digerakkan. Ya Allah apa yang terjadi?
Kini aku menderita stroke. Terbaring kaku di rumah pesakitan. Saat kondisi tubuhku mulai membaik, orang-orang berseragam itu kembali datang meminta keterangan. Aku menjadi tersangka makelar kasus.

lantai dua--- 18-04-2010 (21:08)


3 Comments:

  1. baca awalnya menangis...hiks...
    cerita akhirnya koq begitu?
    banyak nilai bisa diambil dari cerita ini.

    BalasHapus
  2. doa seorang ibu memang sangat mujarab.
    tentu semua atas ijin-Nya.

    BalasHapus
  3. Ceritanya bagus... senang membacanya. ^_^

    BalasHapus

Maaf semua komentar kami moderasi. Budayakan komentar yang santun demi kenyamanan semua pembaca yang berkunjung ke blog ini. Salam Blogger ;-)